TOPIK KHUSUS

Hunian di Bawah Rp 30 Miliar Bebas Pajak Barang Mewah

Administrator | Selasa, 08 Oktober 2019 - 09:53:33 WIB | dibaca: 819 pembaca

Foto: Istimewa

Dinanti sejak tahun lalu, akhirnya kementerian keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (Pmk) No.86/PMK.010/2019 mengenai batasan nilai hunian mewah yang dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPNBM). Aturan baru ini diundangkan pada 11 Juni 2019. Pelonggaran tersebut diprediksi akan membantu pemulihan pasar properti terlebih di segmen premium (high end).

PMK Nomor 86/PMK.010/2019 merupakan revisi dari PMK Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Di aturan baru ini disebutkan bahwa kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar ke atas saja yang akan dikenakan PPnBM sebesar 20%. Berbeda dengan aturan sebelumnya, dimana hunian mewah dan sejenisnya yang terkena PPnBM yakni rumah dengan harga jual mulai Rp 20 miliar ke atas untuk jenis non strata-title dan mulai Rp 10 miliar ke atas untuk jenis strata-title.

Kementerian Keuangan mempertimbangkan bahwa PMK terdahulu tidak lagi sesuai dengan perkembangan sektor properti, dimana saat ini pasar properti sedang lesu terutama di segmen atas. Beleid yang baru ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor properti melalui peningkatan daya saing dan investasi di sektor properti.

“Tujuannya memang untuk menstimulus industri properti karena mempertimbangkan situasi pasar yang lesu,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama di Jakarta, baru-baru ini.

Relaksasi aturan PPnBM ini disambut baik Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI).

Sekjen DPP REI, Paulus Totok Lusida mengatakan penurunan besaran harga jual hunian yang terkena PPnBM memang menjadi salah satu isu yang diperjuangkan REI guna mengairahkan kembali pasar properti terlebih di segmen atas. Selama ini, banyak konsumen tidak mau membeli rumah mewah karena pajak yang memberatkan, sehingga pengembang pun terpaksa mengerem pembangunan atau pasokan di segmen tersebut.

“Relaksasi pajak untuk properti mewah itu akan memacu gairah pembangunan dan penjualan di segmen high end yang selama ini paling lesu dibandingkan subsektor properti lainnya,” ungkap Totok kepada Majalah RealEstat, baru-baru ini.

Menurut dia, REI sejak tahun lalu beberapa kali cukup intens membahas masalah aturan perpajakan di sektor properti ini dengan Ditjen Pajak terutama untuk memberikan masukan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan permintaan properti yang melemah dalam beberapa tahun terakhir. Selama ini akibat terhentinya pasokan, ujar Totok, turut berpengaruh terhadap pemasukan negara dari pajak dari segmen hunian mewah.

“Beleid baru ini kami yakin dapat menjadi faktor psikologis untuk mendorong kembali penjualan di subsektor ini, sekaligus memacu pemasukan pajak buat negara dari pajak hunian mewah,” harap Totok.

Kepercayaan Diri
Head of Research and Consultancy, Savills Indonesia, Anton Sitorus mengatakan, dikeluarkannya kebijakan tersebut sangat positif untuk menggairahkan kembali sektor properti Tanah Air.

“Kalau dilihat secara general, kondisi sekarang ini pemerintah berusaha meningkatkan gairah bisnis makanya berbagai upaya dilakukan. Salah satunya pelonggaran aturan PPnBM. Itu hal positif,” kata Anton.

Menurut dia, saat ini kondisi properti Indonesia belum terlalu bagus. Hal tersebut tercermin dari masih lesunya penjualan dan minimnya pengembang yang meluncurkan produk-produk baru terutama di segmen premium. Anton menilai, para pengembang sekarang masih belum terlalu percaya diri dengan kondisi pasar.

“Saya kira saat ini developer masih belum terlalu confident melakukan ekspansi terlalu besar karena mempertimbangkan kondisi ekonomi. Padahal sebenarnya fundamental permintaan besar sekali,” jelas dia.

Sementara itu, Senior Associate Director Colliers International Indonesia, Ferry Salanto menilai bisnis properti saat ini sedang bergerak naik karena sudah dalam kondisi stagnan selama beberapa tahun terakhir. Berbagai langkah relaksasi yang sudah dilakukan pemerintah diyakini bakal mempercepat pemulihan pasar.

“Banyak pengembang yang menunda ekspansi dalam dua tahun terakhir, sehingga relaksasi aturan perlu dilakukan,” ujar Ferry.

Dia mengakui minimnya pengembang yang mau menggarap apartemen dengan segmentasi atas tersebut disebabkan oleh berkurangnya minat pembeli investor yang mau berinvestasi di segmen premium karena beban pajak yang tinggi. Padahal logikanya, selagi masih ada pembeli pengembang tidak mungkin meninggalkan segmen pasar ini mengingat margin untuk pengembang lebih besar dibanding membangun di segmen menengah.

Menurut Ferry, nilai pajak properti yang tinggi masih menjadi kendala lambatnya penyerapan properti khususnya unit apartemen di segmen atas. Kalau ditotalkan, maka pajak untuk properti kelas ini mencapai 40%, yang terdiri dari 20% PPnBM, 5% PPh 22, PPN 10%, BPTHB 5%, hingga transfer tax.

“Dengan pajak yang tinggi saat ini pembeli investor beranggapan hunian dengan segmentasi atas sebagai produk investasi tidak menghasilkan potential income dan yield yang cukup menarik saat ini. Tapi kalau pajaknya dihapus, pembeli tinggal memikirkan bagaimana menciptakan iklim sewa dengan yield yang tinggi,” papar dia. (Rinaldi/Teti)