TOPIK KHUSUS

Harga Berat Ditimbang, Pengembang Mulai Bimbang

Administrator | Senin, 10 April 2023 - 12:26:34 WIB | dibaca: 106 pembaca

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Pengembang rumah bersubsidi di daerah mengkritik pemerintah yang terkesan terlalu banyak menimbang dalam menanggapi kondisi developer rumah bersubsidi yang makin terhimpit akibat lonjakan harga bahan bangunan.
 
Tak dapat dimungkiri, pembangunan rumah bersubsidi selama ini sangat bergantung kepada pengembang swasta yang selalu siap berjibaku membantu pemerintah dalam memenuhi tanggungjawabnya dalam penyediaan rumah rakyat. Padahal konstitusi mengamanahkan pemenuhan rumah layak huni sebagai tanggungjawab pemerintah (negara). 

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bahkan pernah mengakui jika kemampuan pemerintah selama ini dalam membangun fisik rumah bagi MBR hanya sebesar 20%, semen-tara sisanya 80% dibangun oleh pengembang perumahan dengan du-kungan insentif untuk MBR seperti uang muka ringan, suku bunga KPR rendah dan sebagainya. 

“Sampai jelang akhir tahun ini, harga rumah bersubsidi tidak juga ada penyesuaian. Padahal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memicu melambungnya harga bahan material. Biaya produksi sudah semakin mahal, tetapi pemerintah lamban merespon ini,” kata Ketua Dewan Pengurus Daerah Realestat Indonesia (DPD REI) Sumatera Selat-an, Zewwy Salim, baru-baru ini. 

Jika terus diabaikan seperti ini, dia khawatir banyak pengembang semakin malas untuk membangun rumah bersubsidi. Pasalnya, pasca kenaikan BBM harga material melonjak lagi sekitar 10%-15%, sehingga pengembang tidak mau merugi karena marjin sangat tipis. 

Sekadar diketahui, selain karena kenaikan BBM, sebelumnya harga bahan material sempat naik akibat dipicu kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% per 1 April 2022. Kenaikan PPN itu membuat produsen bahan bangunan menaikkan harga jual produknya.
 
Zewwy berharap pemerintah segera mengambil keputusan untuk menaikkan harga rumah subsidi. 

“Kami khawatir pengembang tidak mau lagi membangun rumah subsidi ini bahan material sudah naik cukup tinggi, sedangkan harga jual dari pemerintah tidak naik-naik dalam tiga tahun terakhir,” tegasnya. 

Ditambahkan, saat ini sekitar 80% anggota REI Sumatera Selatan adalah pengembang rumah bersubsidi. 

Beberapa pengembang di daerah dikabarkan sudah ada yang mulai menunda pembangunan rumah subsidi karena tidak ada keje-lasan soal harga baru. 

Ketua DPD REI Sumatera Barat, Ardinal menyebutkan saat ini ada pengembang di daerah tersebut yang memilih menunda pembangunan rumah subsidi sampai ada ketentuan terbaru dari pemerintah. Hal itu, ungkapnya, karena pengembang kesulitan mengatur cashflow akibat biaya produksi meningkat. 

“Sejak harga BBM naik, harga bahan bangunan juga turut naik juga. Karena itu kenaikan harga rumah subsidi mutlak mendesak,” ujarnya. 

Menurut Ardinal, pengembang tidak berani untuk membangun karena khawatir harga nantinya tidak naik sementara pengembang sudah membangun dengan harga material terkini. 
Karena itu, pihaknya menyesalkan sikap pemerintah yang belum memberi kepastian terkait harga rumah subsidi. Seharusnya pemerintah lebih cepat mengeluarkan aturan harga jual sejak awal tahun, sehingga tidak mengganggu target pembangunan rumah subsidi di 2022.

Ditambahkan, minat masyarakat di Suma-tera Barat untuk membeli rumah subsidi masih cukup tinggi. Tahun ini, REI Sumatera Barat menargetkan pembangunan rumah subsidi sebanyak 7.000 unit. Namun hingga akhir Sep-tember realisasinya baru sekitar 3.000 unit. 

Beralih ke Komersial 
Selain menunda pembangunan rumah bersubsidi, pengembang juga memilih lang-kah lain untuk menyelamatkan bisnisnya. 

Di Aceh, kenaikan bahan material dan sulitnya perizinan membuat pengembang di provinsi paling ujung barat Indonesia itu mulai beralih membangun rumah komersial dengan “rasa” subsidi untuk mengejar cashflow. Meski belum bisa menyamai volume penjualan ru-mah subsidi, setidaknya permintaan ada. 

“Yang paling banyak dicari adalah rumah di harga Rp200 juta hingga Rp300 juta. Itu yang terbesar karena harganya tidak jauh dari harga rumah subsidi,” ungkap Ketua DPD REI Aceh, Muhammad Nofal. 

Oleh karena itu, dia mengaku sudah me-nyampaikan ide ke Kementerian PUPR untuk membuat skema baru aturan rumah subsidi. Nofal mengusulkan agar suku bunga rumah bagi MBR ditetapkan saja sebesar 7% (di atas bunga subsidi sekarang sebesar 5%) namun dengan luasan bangunan lebih besar dari ru-mah subsidi. Sementara harga jual diserahkan ke pasar, namun ditentukan ambang teratasnya. 

“Tahun depan jika kondisi tidak membaik termasuk perizinan, maka pengembang REI di Aceh mungkin akan memilih opsi beralih ke rumah non-subsidi dan bertahap akan me-ninggalkan rumah bersubsidi ini,” tegas Nofal. 

Dia meminta Kementerian PUPR segera melakukan evaluasi harga secepat mungkin dan melihat kenyataan jika realisasi rumah sub-sidi semakin jauh menurun. 
Pengembang di Jawa Timur juga berharap ada kenaikan harga rumah bersubsidi dalam waktu dekat. Peningkatan harga diharapkan minimal 7% dari harga saat ini sekitar Rp150,6 juta.

“Permintaan (rumah bersubsidi) banyak. Tetapi pengembang saat ini masih menunggu kenaikan harga tersebut untuk membangun baru. Kecuali yang sudah ada pembelinya, mereka tetap membangun sesuai komitmen,” jelas Ketua DPD REI Jawa Timur, Soesilo Efendy. 

Wakil Ketua Umum Koordinator DPP REI Moerod menegaskan bahwa DPP REI terus mendesak percepatan penerbitan ketentuan harga jual baru rumah subsidi tahun 2022 untuk menyesuaikan kenaikan harga material dan upah tukang. Tetapi hingga Oktober ini belum mendapatkan kepastian dari pemerintah. 

“DPP REI sudah mendesak ketentuan harga baru dipercepat. Karena bahan material sudah pada naik dan itu bisa dicek langsung pemerintah ke pasar. Jadi harga bahan ba-ngunan naik itu bukan isapan jempol,” pung-kas Moerod. 

Kementerian PUPR dan beberapa asosiasi pengembang sepakat ada kenaikan 7% untuk rumah bersubsidi di 2022. Tetapi kini jelang penutupan tahun, tampaknya pengembang pun mulai bimbang! (Rinaldi)


Sumber: