TOPIK KHUSUS

Gaung Bangunan Hijau di Daerah Masih Rendah

Administrator | Selasa, 16 Juli 2019 - 14:55:19 WIB | dibaca: 1352 pembaca

Foto: Istimewa

Penerapan aturan bangunan hijau (green building) di indonesia masih sangat rendah. Gaungnya hanya sayup-sayup terdengar, kemudian kembali senyap. Kesadaran dan pemahaman pemerintah daerah ternyata juga sangat rendah yang dibuktikan dari sedikitnya daerah yang sudah memiliki aturan mengenai penerapan bangunan hijau tersebut.

Hingga saat ini, baru dua daerah yang sudah memiliki peraturan daerah mengenai bangunan hijau, yakni Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bandung. Selain Pemkot Semarang yang saat ini masih membahas dan menyusun aturan tersebut. Ini memprihatinkan mengingat tren bangunan hijau cukup kencang menggema di banyak negara maju.

Menurut Green Building Leader International Finance Corporation (IFC), Sandra Pranoto, di Indonesia penerapan bangunan hijau belum terlalu bergaung, padahal dengan adanya peraturan tersebut akan membuka potensi pasar yang cukup besar. Berbagai pihak perlu mendorong supaya daerah lain juga mengikuti langkah Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bandung.

“Pemerintah daerah sudah harus mengeluarkan perda bangunan hijau ini karena dari nasional juga sudah ada peraturan bangunan hijau. Misalnya bisa dimasukkan efisiensi energi, harus ada area hijau, dan orientasi bangunan, “ ujar dia kepada wartawan, beberapa waktu lalu. 

Dia memberi contoh sejak Pergub DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau diberlakukan, sedikitnya ada 339 gedung dengan capaian hampir 21 juta m2 area yang sudah mengikuti peraturan tersebut. Dari potensi penghematan, sudah mencapai hampir US$ 90 juta.

Demikian juga di Bandung, sejak diberlakukan pada 2016 hingga kini ada sekitar 3.001 bangunan hijau di kota tersebut dengan luas mencapai hampir 876.273 m2.

Menurut Sandra, ada perbedaan aturan antara Jakarta dan Bandung. Peraturan bangunan hijau di Jakarta diberlakukan untuk seluruh bangunan besar seperti untuk perkantoran, pusat perbelanjaan, dan apartemen wajib untuk yang di atas 50.000 m2, untuk hotel dan rumah sakit di atas 20.000 m2, dan bangunan pendidikan di atas 10.000 m2.

Di Bandung, sesuai Perwal Nomor 1023 Tahun 2016 tantang Bangunan Gedung Hijau, rumah tapak dengan luas di atas 200 m2 dimasukkan ke dalam peraturan, karena itu luasan bangunannya terhitung lebih banyak. Namun kabar terbaru, Jakarta juga bakal menerapkan aturan bangunan hijau untuk rumah di atas 200 m2.

“Menurut Perwal Bandung itu, rumah dengan luas di atas 200 m2 harus menerapkan empat hal, yaitu efisiensi energi, pemilahan sampah, menggunakan dual flush toilet, dan luasan area hijau di bangunan rumah. Kalau semua dipenuhi baru izin mendirikan bangunan (IMB) diberikan,” papar dia.

Penerapan bangunan hijau ramah lingkungan ini sebenarnya sangat mendesak diberlakukan, mengingat ada 70% populasi di Indonesia yang akan berpindah ke kota pada 2025 dan pertumbuhan penduduk Indonesia hampir 4,1% lebih cepat dibandingkan kota-kota lain di Asia.

Diungkapkan, sektor rumah tangga mengonsumsi sekitar 40% aliran listrik, belum lagi 20% dari penghasilan masyarakat tersedot untuk membayar biaya listrik. Di sisi lain, diproyeksikan penggunaan listrik rumah tangga akan mencapai 800% pada 2050.

Bangunan seperti diketahui mengonsumsi lebih banyak listrik, dan mengeluarkan 40% dari emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi bumi. “Ini ancaman bagi lingkungan,” tegas Sandra.

Bantu Sosialisasi
Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Tata Ruang, Kawasan dan Properti Ramah Lingkungan menyatakan dukungan terhadap upaya mendorong lebih banyak pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah tentang bangunan hijau. Semua pihak, ungkap dia, harus melihat efisiensi energi terutama di bangunan sebagai hal penting yang harus serius dilakukan.

“Siapa yang harus meng-endorse pemerintah daerah? Saya kira semua pemangku kepentingan harus sama-sama bergerak mendorong para pengambil kebijakan terlebih di daerah untuk peduli dan membuat aturan bangunan hijau ini. REI juga ikut mendorong,” ungkap dia, baru-baru ini.

Menurut Hari, REI sudah bertemu dengan Green Building Council Indonesia (GBCI) dan IFC guna membahas sosialisasi menyeluruh mengenai pentingnya penerapan bangunan hijau hingga ke daerah. REI yang beranggotakan pengembang dari 34 provinsi di Indonesia dianggap bagian paling tepat untuk “membumikan” konsep green building atau green property.

Dalam waktu dekat REI berencana melakukan sosialisasi ke beberapa daerah terutama di kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Bekerjasama dengan GBCI dan IFC nantinya akan diadakan pelatihan dan coachingh clinic menjelaskan manfaat, bagaimana mendesain bangunan hijau, bagaimana mendapatkan sertifikat green building serta efisiensi yang bisa diperoleh dengan penerapan bangunan hijau.

“Bahkan REI akan memasukkan materi bangunan hijau ini ke dalam kurikulum badan diklat REI yang diadakan di setiap daerah. Dengan semakin banyak pengembang daerah yang mengerti tentang green property, maka diharapkan pengetahuan tersebut dapat ditularkan kepada pemerintah daerah. Ini cara REI mendorong pemda peduli terhadap isu bangunan hijau,” papar Hari Ganie.

Diakui, pentingnya penerapan bangunan hijau belum terlalu familiar bagi pengembang terlebih di daerah. Sebab mayoritas pengembang anggota REI di daerah adalah pengembang di segmen menengah bawah bahkan rumah bersubsidi yang batasan harga jualnya telah ditentukan oleh pemerintah.

Bagi pengembang di segmen ini, green building belum menjadi isu penting, tetapi perhatian mereka adalah bagaimana bisa jualan atau kapan kredit cair, atau kapan harga rumah naik.

Kondisi berbeda dengan pengembang di kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan sekitarnya, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, atau Batam – dimana pengembang sudah banyak membangun rumah di segmen menengah atas, bahkan apartemen. Di pasar ini banyak developer sudah paham dan menerapkan aturan bangunan hijau.

“Tetapi karena 70 persen properti nasional ada di sini, tentu pengembang-pengembang menengah atas ada di sini juga, dan mereka ini mayoritas sudah paham dengan isu-isu hijau dan efisiensi energi,” ujar Hari.

Data menunjukkan hampir semua pengembang besar tingkat kesadarannya terus meningkat terhadap pengembangan properti hijau. Mereka sudah mengetahui manfaat dari pengembangan green building. Selain manfaat dari sisi pemasaran dan penjualan, green building mampu menekan biaya pemeliharaan pasca beroperasi.

“Penghematan biaya setelah operasional ternyata jauh lebih besar dari-pada tidak menerapkan konsep bangunan hijau,” jelas dia.

Oleh karena itu, keuntungan dari penerapan green property sebenarnya paling banyak bukan dinikmati pengembang, tetapi pemilik, penghuni dan penyewa. (Rinaldi)