TOPIK KHUSUS

REI dan P3RSI Ajukan Judicial Review

Gaduh Aturan Penghuni Rusun Berujung Gugatan

Administrator | Kamis, 04 April 2019 - 09:42:28 WIB | dibaca: 1151 pembaca

Akhirnya, Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 23/PRT /M/2018 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) digugat, setelah sempat menjadi polemik hampir tiga bulan terakhir.

Gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap regulasi tersebut diajukan para pengembang yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) dan Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI). Asosiasi pengembang dan perhimpunan penghuni rusun itu menuding permen yang diterbitkan oleh Menteri PUPR pada Oktober 2018 lalu tersebut terlalu dipaksakan dan dibuat tanpa asas keadilan.

Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum REI dan P3RSI menegaskan pihaknya akan mengajukan gugatan karena Permen 23/2018 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan keresahan bagi pengembang apartemen/rusun serta perhimpunan penghuni rusun.

Aturan tersebut ditudingnya keluar tanpa melalui pembahasan dengan pelaku pembangunan, dan diterbitkan dengan mengabaikan pasal-pasal acuan dalam yang lebih tinggi yakni Undang-undang No. 20 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) khususnya pasal 78 Undang-undang No. 20 tahun 201 l yang mendelegasikan kewenangan pengaturan terkait dengan PPPSRS melalui Peraturan Pemerintah (PP), bukan Permen.

“Permen ini diterbitkan dengan banyak sekali kejanggalan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Dampaknya membuat keresahan pemilik unit-unit satuan rumah susun, gangguan kerja kepada pengembang apartemen atau rumah susun, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dari tiap-tiap pemilik (unit),” ujar dia kepada wartawan di Kantor Ihza & Ihza Law Firm, Office tower 88, Kota Kasablanka, Kuningan, Jakarta, Kamis (17/1/2019).

Selaku kuasa hukum, kata Yusril, pihaknya akan melakukan kajian-kajian hukum terhadap Permen No. 23/2018 tersebut, termasuk langkah hukum dengan mengajukan gugatan judicial review ke MA.

Upaya hukum ini dilakukan semata-mata untuk mengembalikan keadilan dan kesetaraan hukum bagi para pemilik satuan unit rumah susun serta pelaku pengembang di Indonesia.

“Dalam waktu dekat akan kami ajukan judicial review, sedang di draf. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah disampaikan ke MA,” kata dia.

Yusril berharap agar Pemerintah tidak memaksakan pelaksanaan Permen dan Pergub berkaitan dengan PPPSRS, sekaligus memberikan waktu untuk penerbitan Rancangan Peraturan Pemerintah Rumah Susun (RPP Rusun) yang mengakomodir kepentingan semua pihak, sehingga berkesesuaian dengan amanah undang-undang.

Alasan Gugatan
Menurut Yusril, setidaknya ada beberapa alasan yang menyebabkan REI dan P3RSI memutuskan untuk mengajukan uji materi terkait Permen 23/2018. Antara lain;

Pertama, Permen dan Pergub ini diterbitkan mendahului terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan aturan rumah susun. Yusril menyebutkan aturan tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya bagi pemilik unit-unit satuan rumah susun (sarusun) termasuk pengembang rumah susun dalam hal proporsi antara kepemilikan unit sarusun dikaitkan dengan hak dan kewajiban dari pemilik sarusun.

Pihaknya menyoroti beberapa hal, yaitu permen tersebut dikeluarkan tidak melalui pembahasan dengan pelaku pembangunan dan diterbitkan dengan tidak mengacu pada pasal-pasal acuan dalam UU No. 20/2011 yang mendelegasikan kewenangan peraturan terkait dengan PPPSRS melalui PP. Hingga saat ini, rancangan terhadap PP Rusun tersebut masih dalam pembahasan intensif.

Berdasarkan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, beleid diterbitkan mendahului diterbitkannya PP sehingga secara hukum aturan tersebut tidak mempunyai payung hukum, baik secara delegatif maupun atributif.

“Dalam UU No. 20/2011, hal yang terkait dengan penghuni, harus diatur dengan PP Inikan, PP belum selesai, tetapi sudah keluar permen dan pergubnya,” jelas Yusril.

Kedua, Permen ini justru mengatur hak suara pemilihan pengurus PPPSRS yang seharusnya diatur oleh PP. Secara rinci dia menyebutkan pengaturan mengenai hak suara pemilihan pengurus PPPSRS tidak diatur secara spesifik dalam UU No. 20/2011 karena secara tegas UU tersebut mendelegasikan kepada PP. Namun, ketentuan dalam permen justru mengatur sesuatu yang bukan diamanatkan UU.

Ketiga, mengenai hak suara berdasarkan one man one vote yang bertentangan dengan UU Rumah Susun. Pasalnya, apabila mengacu kepada Pasal 75, UU tentang Rumah Susun, pembentukan pengurus PPPSRS adalah untuk kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama, tanah bersama, dan penghunian.

Oleh karena itu, menurut dia, penggunaan sistem hak suara pemilihan pengurus dan pengawas PPPSRS berdasarkan one man one vote pada Permen No. 23/2018, Pasal 19 ayat (3) justru bertentangan dengan yang diatur dalam UU Rumah Susun, yaitu pada tahapan pengelolaan, maka menggunakan mekanisme pemungutan suara berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).

Keempat, ada beberapa poin dalam Permen No. 23/2018 yang melanggar UU Rumah Susun. Misalnya pada dalam pasal 15 ayat 3 membatasi hak seseorang maupun badan hukum yang bertentangan dengan KUHPerdata maupun UU Perseroan Terbatas. Ditambah lagi Wakil Badan Hukum yang menjadi pengurus PPPSRS di lampiran 1 Permen 23/2018 mengurangi hak Badan Hukum dalam pengambilan suara.

Terakhir, adanya larangan pengurus PPPSRS menjadi pengurus PPPSRS di tempat lain sangat kontradiktif dengan pasal 28 ayat 2 mengenai pencatatan akta pendirian AD/ART PPPSRS.

Yusril kembali mengingatkan agar Pemerintah tidak memaksakan pelaksanaan permen dan pergub, sekaligus memberikan waktu untuk penerbitan RPP Rumah Susun yang mengakomodasi kepentingan pemilik sarusun dan pelaku pembangunan yang mengedepankan aspek hukum yang benar, baik secara formil maupun materil sehingga pelaksanaannya dapat dijalankan sesuai dengan UU yang berlaku. (Teti Purwanti)