TOPIK KHUSUS

Empat Asosiasi Desak Pemerintah Serius Urus Rumah Rakyat

Administrator | Selasa, 29 September 2020 - 16:01:38 WIB | dibaca: 515 pembaca

Masih banyak masalah yang dihadapi pengembang dalam mendukung program pemerintah untuk menyediakan perumahan, terutama untuk rumah subsidi. Untuk itu, empat asosiasi pengembang yang selama ini telah menunjukkan komitmen terhadap program sejuta rumah (PSR) mendesak pemerintah lebih serius mengurusi rumah rakyat.


Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengungkapkan saat ini sudah ada tiga skema utama pembiayaan rumah subsidi yang disiapkan pemerintah yakni Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan Subsidi Selisih Bunga (SSB).

Namun penerapan ketiga skema itu kerap kali berubah-ubah hampir setiap tahun sehingga menghambat pembangunan rumah rakyat. Totok memberi contoh aturan BP2BT yang sebenarnya sudah ada sejak dua tahun lalu, tetapi baru dapat dijalankan dalam beberapa bulan terakhir setelah aturannya disetarakan dengan skema lain. Anehnya, begitu sudah ada konsumen yang memakai BP2BT ini, pemerintah langsung mengganti aturannya.

Antara lain spesifikasinya harus memakai besi ukuran 10 milimeter dan 8 milimeter. Padahal, aturan spesifikasi besi ini sudah pernah dibatalkan untuk yang skema FLPP dan SSB.

“Lha kalau berubah-ubah begitu bagaimana nasib rumah yang sudah dibangun?,” ujar Totok dalam diskusi yang diadakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) bertajuk “Quo Vadis Subsidi Perumahan Rakyat?” di Resto Es Teler 77 Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan, Selasa (17/3/2020).

Dia juga menyoroti aturan lain yang mendadak harus dilakukan seperti kewajiban penggunaan aplikasi Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan (SiKasep) dan Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (SiKumbang). Pengembang menilai seharusnya ada masa transisi karena proses pemilikan rumah merupakan proses yang panjang. Selain itu, sistem software SiKasep dan SiKumbang di lapangan juga belum berjalan optimal.

“Bikin aturan itu kalau bisa jangan mendadak. Ya kalau pun mendadak, ada penyesuaian dan sosialisasi dulu. Jangan langsung dipaksakan karena justru menjadi penghambat,” tegas Totok.

Selama ini, ungkap dia, komunikasi asosiasi pengembang terutama Realestat Indonesia (REI) dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono diakui cukup baik. Pengembang juga selalu mencoba mengikuti ketentuan yang ada. Namun seringkali kebijakan di level direktorat jenderal tidak seirama dengan arahan Menteri PUPR.

Totok menganggap kebiasaan mengubah aturan dan memaksakan penerapan aturan baru secara mendadak tidak fair diperlakukan kepada swasta yang selama ini memberi dukungan penuh membantu tanggungjawab pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat untuk MBR. Seperti diketahui selama ini pengembang swasta menjadi penyumbang terbesar pasokan rumah rakyat.

“Bayangkan, unit sudah terbangun dan siap di akad kredit namun karena ada aturan dadakan jadi tertunda. Pengembang kesulitan menjual rumahnya, sementara konsumen tertunda menempati rumah yang sudah siap dia beli,” kata pengembang asal Jawa Timur itu.

Seperti diketahui, pada 2019 kuota FLPP secara tragis kandas di tengah jalan. Begitu pun di tahun ini, dipastikan balada itu akan kembali terulang. Bahkan diperkirakan April 2020 kuota subsidi sudah habis.

Pemerintah pada tahun ini hanya mengalokasikan anggaran FLPP sebesar Rp 11 triliun yang disebutkan dapat membiayai 102.500 unit rumah subsidi. Tetapi anggaran tersebut hanya cukup untuk membiayai 86 ribu unit rumah, mengingat Rp 2 triliun dari alokasi subsidi 2020 sudah dipakai untuk menutupi kekurangan kuota FLPP pada 2019.

Meski dikabarkan sudah ada kuota tambahan senilai Rp 1,5 triliun lagi, namun hingga diskusi dilakukan belum ada pernyataan resmi dari Kementerian PUPR terkait tambahan kouta tersebut.

“Memang sudah ada komitmen dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menambah anggaran FLPP, tapi belum ada statement yang langsung dinyatakan oleh Kementerian PUPR soalt penambahan kuota FLPP untuk tahun ini,” ujar Totok dalam diskusi Forwapera tersebut.

Totok juga mengingatkan perlunya persiapan anggaran kuota FLPP untuk 2021 dan seterusnya sehingga apa yang terjadi di dua tahun terakhir ini tidak terulang lagi, mengingat saat ini kapasitas pembangunan pengembang sudah mencapai 250 ribu – 300 ribu unit per tahun.

Selain itu, dia juga mengkritik soal harga rumah subsidi baru yang harusnya otomatis realisasi mengingat batasan harga rumah subsidi sudah ditetapkan Menteri PUPR untuk dua tahun sekaligus. Tetapi di lapangan tetap saja ada kendala di tingkat direktorat jenderal terkait.

Khusus program rumah untuk ASN dan TNI-Polri, REI mengusulkan untuk diterapkan PPh 1% dan PPN 0% supaya tujuan pemberian kemudahan memiliki rumah bagi abdi negara ini dapat tercapai.

Seharusnya, kata Totok, program ini sudah berjalan sejak dua tahun lalu, tetapi sampai saat ini belum bisa jalan karena aturan perpajakan ini.

“ASN dan TNI-Polri ini kan sudah berjasa bagi negara. Kami minta PPN dibebaskan saja, karena akumulasi PPN, PPh, BPHTB itu sudah 17,5% sendiri. Itu memberatkan buat mereka,” tutur Totok.

Membantu Tapi Dibunuh
Protes juga diungkapkan Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah. Menurut dia, banyak kebijakan dan sistem baru yang dikeluarkan Kementerian PUPR secara mendadak, sehingga menjadi penghambat dalam membangun rumah untuk MBR.

Dirinya menyoroti bagaimana SiKasep dan SiKumbang yang sangat menganggu kinerja pengembang rumah subsidi. Adanya aplikasi ini justru berdampak buruk dan menyusahkan pelaku usaha properti. Apersi mendesak aplikasi itu ditinjau ulang oleh pemerintah karena sangat merugikan. Menurut Junaidi, sistem tersebut kerap mengalami error sehingga KPR tidak segera cair.

Bahkan parahnya lagi, data-data konsumen kerap hilang dari sistem yang pada akhirnya membuat pengembang tidak bisa segera menyalurkan rumah bersubsidi tersebut.

“Kami ini adalah pengembang yang berniat membantu program pemerintah, tapi sepertinya kok kami malah dibunuh dengan berbagai cara termasuk lewat SiKasep dan SiKumbang,” keluh Junaidi.

Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga meminta Kementerian PUPR untuk melakukan masa transisi terlebih dahulu, dan tidak begitu saja memberlakukan aplikasi SiKasep di lapangan.

Disebutkan, banyak kejadian data hilang saat akan dilakukan akad kredit. Menurut Endang, SiKasep belum siap untuk skala nasional meskipun mungkin hanya masalah teknis, namun sangat berpengaruh pada konsumen dan pengembang.

“Secara regulasi SiKasep dan SiKumbang belum ada aturan atau regulasi yang jelas yang menegaskan bahwa sistem itu harus digunakan sebagai patokan untuk akad kredit lewat bank penyalur. Kami juga mendengar perbankan penyalur KPR juga kesulitan. Sebaiknya ketika kebijakan itu diluncurkan maka harus ada masa transisi, terlebih karena sistemnya sendiri belum siap,” ujar Endang.

Apernas Jaya (AJ) yang merupakan asosiasi pengembang perumahan baru juga sepakat bahwa pemerintah harus lebih fokus dalam mendukung pembangunan rumah subsidi.

Ketua Umum DPP AJ, Andre Bangsawan mengaku bahwa pengembang di Indonesia, khususnya rumah subsidi sebenarnya cukup kreatif. Jadi pengembang bisa membuat skema bahkan tanpa APBN sekalipun, tetapi tetap bisa membangun rumah MBR.

Untuk itu, AJ memberi empat usulan kepada pemerintah untuk mengurangi beban subsidi perumahan. Pertama, kebijakan regulasi dengan mekanisme dua harga dan dua suku bunga untuk KPR subsidi. Kedua, mengubah proporsi penempatan dana antara pemerintah dan perbankan.

Ketiga, Pemerintah harus melakukan evaluasi kenaikan harga rumah subsidi setiap tahun yang menyusahkan konsumen. Keempat, kebijakan insentif pajak melalui pembebasan PPN untuk harga rumah Rp 300 juta ke bawah.

“Kami akan mengusulkan skema yang menarik ini. Jadi sebenarnya pengembang tetap bisa jalan tanpa FLPP. Kita bisa kok tidak memberatkan MBR,” tegas Andre dalam diskusi yang sama.

Pemerintah Kurang Peduli
Sementara itu, Wakil Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, Sukiryanto menegaskan permasalahan yang selama ini dihadapi pengembang akan disampaikan kepada pemerintah, DPD-RI dan DPR-RI.

DPD-RI memiliki tanggungjawab untuk mengawasi Program Sejuta Rumah ini mengingat sebagian besar MBR tinggal di daerah-daerah yang memiliki angka kekurangan (backlog) rumah tinggi.

“Kami secara terus menerus telah menggelar rapat termasuk dengan DPR RI terkait penambahan anggaran untuk perumahan subsidi melalui skema FLPP,” kata dia.

Dijelaskan Sukiryanto, pengembang perumahan FLPP sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen, sehingga jika pembiayaan terhambat maka akan ada multiplier effect ke perbankan, kontraktor, vendor dan pada akhirnya ke masyarakat. (Rinaldi)