TATA RUANG

Banjir Jabodetabek Akibat Rendahnya Koordinasi Tata Ruang

Administrator | Rabu, 08 Juli 2020 - 15:13:52 WIB | dibaca: 435 pembaca

Foto: Istimewa

Di hari pertama tahun ini, banjir besar melanda sejumlah lokasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Curah hujan yang dahsyat, bahkan disebut-sebut sebagai curah hujan paling ekstrim dalam 186 tahun terakhir telah menyebabkan ribuan rumah dan kendaraan warga terendam air.

Banjir bahkan melanda sejumlah kawasan perumahan elite seperti di Kelapa Gading, Cempaka Putih dan Kemang.

Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) bidang Tata Ruang dan Kawasan, Hari Ganie berpendapat masalah banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya merupakan masalah tata ruang akibat rendahnya koordinasi dari hulu ke hilir. Ditambah cuaca ekstrim dan curah hujan yang tinggi.

“Kalau kita lihat hampir di semua lokasi terjadi banjir, bahkan di beberapa tempat yang sebelumnya tidak banjir sekarang terkena banjir. Jadi sebenarnya banjir bukan masalah properti mewah atau bukan mewah,” kata Hari Ganie, baru-baru ini.

Menurutnya, selama ini banyak perumahan mewah yang tidak terkena banjir dikarenakan infrastruktur di kawasan itu ditata cukup baik, secara mikro maupun makro. Perumahan menengah atas lazimnya memiliki drainase tidak hanya di dalam cluster namun juga drainase skala besar di seluruh kawasan itu (saluran makro).

Ditambah lagi, perawatan lingkungan dan infrastruktur lebih baik karena warga perumahan membayar rutin iuran pemeliharaan kawasan. Demikian juga dengan sampah di kawasan mewah juga selalu rutin diangkut sehingga sampah tidak dibiarkan menumpuk dan menjadi penyebab banjir.

“Maksud saya, properti itu hanya bagian kecil dari masalah perkotaan termasuk sebagai penyebab banjir. Karena semaksimal apapun pengembang menata kawasannya dalam mengantisipasi banjir, tetap saja peran pemerintah yang lebih besar,” tegas Hari Ganie.

Oleh karena itu, menurut dia, harus ada pembenahan dari hulu, tengah, dan hilir yang baik untuk mencegah banjir. Meski pun pemerintah harus menyiapkan anggaran yang besar, namun hal itu tetap harus dilakukan. 

Penangganan Ekstrim
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta Dani Muttaqin mengungkapkan bahwa ancaman curah hujan yang ekstrim perlu dihadapi dengan penanganan yang ekstrim dan radikal pula. Untuk itu, perlu kapasitas penanganan bencana seperti penanganan struktur, non-struktur, regulasi, maupun tata kelola.

“Kapasitas penangganan banjir terutama di ibukota saat ini belum memadai. Padahal curah hujan ekstrim kemungkinan akan terjadi lagi dalam waktu dekat,” ujar dia.

Langkah ekstrim yang diperlukan untuk meningkatan kapasitas penanggulangan banjir melingkupi kawasan hulu hingga hilir.

Antara lain pembangunan Waduk Ciawi dan Waduk Sukamahi dengan kapasitas 6,45 juta meter kubik dan 1,65 juta meter kubik di hulu. Kapasitas kedua waduk tersebut bisa menampung sekitar 30 persen aliran air yang mengarah ke Jakarta sehingga masih dibutuhkan adanya tambahan pembuatan sumur resapan.

Untuk meresapkan sisa air dari hulu dibutuhkan sekitar kurang lebih 192.513 buah sumur resapan. Sumur resapan dapat menggunakan lahanlahan kosong, sempadan ataupun halaman bangunan fasos fasum di bagian hulu Jakarta.

Juga dibutuhkan adanya pembangunan sodetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) di bagian tengah dan hilir. Agar, aliran air di Sungai Ciliwung dapat terpecah mengalir ke KBT. Dengan pembangunan tersebut, aliran sungai dari Ciliwung bisa bergerak ke Barat dan Timur, sehingga tak terjadi penumpukan dan terhenti di bagian tengah.

Seperti halnya REI, IAP DKI mendukung peningkatan kapasitas non-struktur dan regulasi penataan tata ruang kawasan hulu dengan menetapkan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabek.

“Pembangunan di Puncak maupun kawasan hulu lainnya berdampak pada penerimaan daerah, sehingga perlu dipikirkan langkah insentif dan kompensasi yang jelas untuk moratorium pembangunan di hulu,” kata Dani. (Teti Purwanti)