TOPIK UTAMA

Antisipasi Ancaman Resesi Global

Administrator | Senin, 05 Desember 2022 - 09:59:19 WIB | dibaca: 205 pembaca

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Ancaman resesi ekonomi sedang membayangi negara-negara di dunia akibat ketidakpastian global. International Monetary Fund (IMF) MENGUNGKAPKAN ada 60 negara yang ekonominya berpotensi ambruk dan 42 negara sedang menuju ambruk.

Kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed makin memperburuk situasi karena banyak negara berpotensi mengalami gagal bayar. Lalu bagaimana dengan perekonomian Indonesia? 

Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa indikator ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara lain yang peringkatnya berada di atas Indonesia dalam survei lembaga ekonomi dunia, namun Indonesia masih tetap harus waspada. Potensi resesi masih dapat terjadi karena negara-negara di dunia masih diba-yangi oleh kenaikan inflasi. 

“Kewaspadaan tetap harus ditingkatkan, karena situasi ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi, atau stagflasi sangat rill sekali,” ujar Menkeu mengingatkan. 

Menurut Sri Mulyani, terdapat beberapa faktor eksternal dari luar negeri yang tidak dapat diabaikan karena perekonomian di bebe-rapa negara berpengaruh di dunia akan memengaruhi ekonomi di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dapat terkena imbas dari geo-politik global, tidak hanya perang Rusia-Ukraina tetapi juga isu perang yang semakin mendekat antara China-Taiwan. 

“Perang dan geopolitik lebih sulit diprediksi,” ujar Menkeu dalam Soft Launching Buku: Keeping Indonesia Safe From Covid-19 di Jakarta, awal Agustus lalu. 
 Hal itu dikarenakan ada berbagai resiko global saat ini yang mendorong kenaikan inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Indonesia juga patut ber-siap, karena Indonesia tidak kebal terhadap resesi ekonomi. 

Bloomberg memperkirakan peluang Indonesia terkena resesi sebesar 3%, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang peluangnya sebesar 10%. Sedangkan peluang Australia, Tiongkok, dan Jepang terkena resesi lebih tinggi yakni di atas 20%. 

Meski begitu, Indonesia tetap harus waspada dan mengantisipasi dampak yang kemungkinan muncul. Soalnya, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat inflasi pada Juli 2022 sebesar 4,94% atau yang tertinggi sejak Oktober 2015. Jika kenaikan inflasi terjadi terus, maka dipastikan akan berdampak terhadap dunia usaha termasuk bisnis properti. 

Tetap Terdampak 
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat ancaman resesi bisa menjadi kenyataan dan tetap akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Berda-sarkan laporan Federal Reserve Atlanta pertumbuhan ekonomi Ame-rika di kuartal kedua 2022 diperkirakan minus 2,1% (year on year/YoY). 
Oleh karena itu, dia memperingatkan pemerintah untuk tidak abai dan menganggap remeh ancaman resesi ini.

“Kita tidak bisa menyepelekan situasi sekarang ini. Nah, yang saya khawatirkan puja-puji banyak sekali dari lembaga interna-sional seperti IMF. Kita tetap perlu waspada, dan jangan sampai abai,” tegas Bhima dalam sebuah diskusi, Selasa (19/7). 

Menurutnya, resesi global yang disebab-kan lonjakan inflasi dan kenaikan suku bunga yang agresif akan mengancam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ancaman juga muncul dari segi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini dinilai berpengaruh terhadap inflasi dari sisi harga produsen.
 
“Jadi meski permintaan mengalami per-baikan di dalam negeri, namun pelaku usaha terjepit dalam dilema yakni tetap menahan harga jual barang tetapi operasional dan biaya produk sudah naik signifikan,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.com. 

Sementara jika perusahaan melakukan penyesuaian harga jual, maka belum tentu konsumen bisa menerima penyesuaian harga tersebut. Oleh karena itu, perusahaan akan dihadapkan pada penurunan omset dan pendapatan. 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan resesi global yang ber-potensi terjadi berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, terutama krisis akibat pandemi. Dimana, saat pandemi krisis disebabkan oleh penurunan aktivitas ekonomi.
 
“Potensi resesi kali ini cenderung berasal dari potensi stagflasi di berbagai negara. Stagflasi berasal dari kenaikan inflasi di seba-gian besar sektor akibat bahan baku yang meningkat,” ungkapnya dikutip dari Kompas. com. 

Josua Pardede memprediksi potensi rembetan resesi global ke Tanah Air minim, namun perlambatan pertumbuhan ekono-mi nasional masih mungkin terjadi. Ini dise-babkan kenaikan harga barang dan pelema-han nilai tukar rupiah. 

“Kenaikan inflasi kemudian menggerus daya beli masyarakat, terutama pekerja,” kata-nya. 

Jangan Euforia 
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad mengimbau pemerintah untuk meningkatkan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, lembaga, dan stakeholder terkait guna menghadapi ancaman resesi global. 

“Kondisi dunia sekarang sudah di am-bang resesi. Beberapa negara di kawasan Asia bahkan diprediksi masuk jurang resesi,” ungkapnya. 

Menurut Fadel, semakin kuat sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, Bank Indo-nesia sebagai otoritas moneter, OJK sebagai lembaga jasa keuangan independen, pelaku usaha, masyarakat, dan stakeholder terkait lain, maka semakin kuat bangsa Indonesia menghadapi potensi resesi global yang ine-vitable ini. 

“Selain itu, potensi uncertainty krisis ekonomi masa depan yang lain juga kita bisa hadapi,” sebut Fadel yang dikutip dari warta-ekonomi.co.id. 

Dia mengingatkan pemerintah untuk tidak euforia meski peluang Indonesia dipre-diksi kecil masuk ke jurang resesi. (Rinaldi)


Sumber: